Selasa, 09 September 2008

Potret Masyarakat Sumbawa: Antara Kemarin, Hari Ini, dan Esok (Sebuah Tanggapan atas Opini Mahfud, S.Pd)


Memandang Bijak tentang Etos Budaya

Opini Mahfud yang dimuat dalam harian Gaung NTB secara bersambung dari tanggal 27-28 Februari 2008 lalu menarik untuk saya tanggapi. Dalam tulisannya Mahfud rupanya mencoba untuk memberikan hipotesa tentang watak khas masyarakat Sumbawa yang dalam kesimpulannya bahwa masyarakat Sumbawa adalah masyarakat yang memiliki semangat kerja rendah dan gengsi tinggi. Mahfud mengambil hipotesa ini dari beberapa fakta sosial yang terjadi di antaranya mengenai petani sumbawa yang pasrah pada nasib, perilaku remaja yang hedonis, dan TKW yang setelah kembali ke tanah air justru memiliki pola hidup baru yang konsumerisme-materialistis.

Membedah masalah persoalan etos budaya atau mentalitas orang Sumbawa tidak boleh kita analisa hanya dengan menggunakan pisau analisis C. Kluckhon. Pemahaman ini disebabkan konteks dan situasi lokal masyarakat Sumbawa berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, pendekatan pemahaman tentang masyarakat Sumbawa mestinya bersifat holistik.

Suatu etos budaya atau mentalitas tidak dapat disimpulkan dengan hanya bertolak dari pandangan hidup itu baik, hidup itu buruk, ataupun hakekat karya untuk hidup dan hakekat karya untuk kedudukan/kehormatan. Jika hanya bertolak dari pandangan dan hakekat hidup, takutnya akan terjadi distorsi makna dari setiap gejala dan fakta sosial. Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan, tidak lain agar setiap orang yang membaca opini dari Mahfud tidak salah dalam menafsirkan, sehingga akan muncul kesan tentang masyarakat Sumbawa yang keliru atau tidak pas dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Bagaimanapun juga fakta sosial seperti sikap hidup petani yang berserah pada nasib, remaja yang hedonis, dan mantan TKW yang konsumerisme-materialis ternyata tidak hanya ada pada masyarakat Sumbawa, melainkan juga terdapat di semua daerah di Indonesia. Perlu juga dipahami bahwa secara kuantitatif angota struktur masyarakat yang diungkapkan oleh Mahfud tidaklah dapat merepresentasikan secara keseluruhan masyarakat Sumbawa. Harus ada pendekatan ilmiah untuk dapat menggeneralisir etos budaya atau mentalitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, dengan itikad baik, penulis mencoba untuk mendudukkan persoalan pada proporsi yang sebenarnya melalui tulisan ini.

Apakah yang Sebenarnya Terjadi dengan Masyarakat Sumbawa

Berbicara tentang watak khas masyarakat sumbawa sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahfud bukannya tidak benar sama sekali. Hal-hal yang dikemukakannya banyak yang benar dan tidak terbantahkan—sebagaimana adagium yang kita kenal “kangila rara kagampang bola”—katanya orang sumbawa malu dikatakan sebagai orang yang miskin, meski hidup susah yang penting gaya. Walaupun demikian, tidak serta merta kemudian hal tersebut dapat kita jadikan sebagai generalisir tentang watak khas masyarakat Sumbawa. Ibarat dokter yang mendiagnosa pasien tidak hanya dilihat dari simtom-simtom yang tampak dari luar namun juga harus diperiksa lebih dalam bahkan melalui proses uji laboratorium.

Beberapa waktu yang lalu penulis berdiskusi dengan teman-teman dari kampus STKIP Hamzanwadi. Dalam perbincangan itu muncul pertanyaan “Benarkah masyarakat Sumbawa memiliki semangat kerja yang rendah dan gengsi?”. Dari perbicangan diskusi itu penulis menarik simpulan bahwa masyarakat Sumbawa baik generasi tua, remaja, wanita, kepala rumah tangga, dan sebagainya ternyata tidaklah seperti apa yang diungkapkan oleh Mahfud tersebut. Sebagian besar struktur masyarakat Sumbawa itu adalah petani yang rajin, ulet, tabah menghadapi tantangan, menghargai nilai-nilai susila, dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Sepertinya Mahfud lupa bahwa memberikan contoh tentang petani Sumbawa yang memiliki pandangan hidup berserah kepada nasib kuranglah tepat, sebab pandangan hidup yang demikian hanya sebagian kecil dari komunitas petani yang tersebar luas di Sumbawa. Petani lain belum tentu menerima pandangan hidup yang demikian atau mempunyai pandangan hidup yang berbeda. Di daerah seperti kecamatan Moyo Utara, sebagai salah satu contoh, petani di sini bisa memanfaatkan lahan sepanjang musim tanpa harus menganggur dan memang hidup itu dipandang sebagai sebuah tantangan dan perjuangan agar dapat memperoleh kebahagiaan rohani dan jasmani. Di tempat ini tiap tahun banyak petani yang sukses panennya dan bahkan mampu naik Haji dengan hasil panen.

Adapun contoh tentang para remaja atau pemuda juga tidak pas, sebagaimana yang kita ketahui geliat aktivitas dalam keagamaan dan organisasi baik itu ormas, NGO, dan partai politik tidak dapat kita bantah kan. Justru para remaja atau pemuda inilah yang kemudian menjadi pionier dan motor penggerak organisasi.

Demikian juga dengan TKW yang pulang dari Luar Negeri, banyak di antara mereka yang sukses membangun usaha. Bahkan menjadi ‘juragan’ dalam bidang usaha seperti barang lipat, usaha ikan, ataupun pertanian. Hal ini didasarkan atas beberapa penelitian yang dilakukan oleh siswa SMAN 3 Sumbawa pada Bulan Desember 2007 lalu tentang “mobilitas sosial”. Dimana TKW yang sebelumnya sulit dalam berusaha, tetapi sukses ketika pulang dari luar negeri karena memiliki modal yang besar. Secara status pun mereka kini tidak dapat dipandang sebelah mata.

Pertanyaan berikutnya adalah apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat sumbawa? Di sinilah sebenarnya konteks fakta sosial yang diungkapkan oleh Mahfud, mereka – petani, remaja, dan TKW – tidak lebih merupakan korban dari ketidaksiapan dalam menghadapi proses modernisasi. Mereka tidak mampu menghadapi tantangan-tantangan kehidupan dan perubahan zaman. Pada saat yang sama mereka ini dihadapkan pada dua nilai dan norma sekaligus yaitu tradisional dan modern. Dalam kebimbangannya menghadapi dua nilai dan norma ini mereka akan mengalami beberapa gejala di antaranya anomie, cultural shock, dan cultural lag.

Pertama, anomie merupakan Suatu kondisi ketika masyarakat kehilangan nilai dan pegangan hidup. Pada saat ini masyarakat bingung, apakah harus mempertahankan nilai-nilai tradisional ataukah mesti ikut dalam arus modernisasi. Kelompok masyarakat yang paling kebingungan adalah kelompok remaja yang secara sosial belum memiliki identitas yang mantap. Sehingga tidaklah mengherankan bila perilaku kelompok remaja semakin mengarah pada budaya hedonis-pragmatis seperti pergaulan bebas, kenakalan remaja, dan minum-minuman keras.

Kedua, cultural shock yaitu suatu keadaan ketika masyarakat tidak siap menghadapi proses masuknya unsur-unsur kebudayaan baru yang kemudian berakibat pada hilangnya orientasi dan munculnya frustasi. Banyak kita temukan para petani yang terlibat dengan rentenir karena sulitnya menghadapi beratnya tantangan hidup dan kemudian berujung pada praktek-praktek penyimpangan sosial seperti kriminalitas. Atau juga para TKW kita yang berangkat ke luar negeri dengan keinginan agar mendapatkan penghasilan yang banyak dalam waktu yang singkat, sehingga pada saat pulang tidak hanya membawa uang tetapi juga membawa pola hidup yang ditiru dari negeri asal bekerja.

Ketiga, cultural lag merupakan kenyataan dimana unsur-unsur globalisasi tidak terjadi secara serempak. Di satu daerah masyarakat siap menerima perubahan tetapi di daerah lain belum siap, akhirnya yang terjadi adalah ketimpangan budaya. Sebagai contoh, kegagalan mekanisme pertanian rakyat di beberapa desa di Sumbawa karena banyak petani yang tidak siap menerima unsur-unsur tekhnologi modern yang rumit pemeliharaan dan mahal harganya.

Ketidaksiapan masyarakat Sumbawa dalam menghadapi gencarnya modernisasi dan sulitnya tantangan kehidupan ini juga berakar dari sosio cultural masyarakat Sumbawa yang termanjakan oleh alam. Banyak program-program pemerintah akhirnya gagal karena tidak sesuai dengan akar sosio cultural masyarakat. Kebijakan-kebijakan pembangunan seringkali berrsifat top down hanya mementingkan aspek kuantitas bukan kualitas. Misalkan saja, program peternakan sapi yang mensyaratkan adanya kandang. Bagi masyarakat Sumbawa yang sudah terbiasa dengan alam, proses beternak dengan sistem kandang adalah hal yang berada di luar kebiasaan masyarakat. Masyarakat Sumbawa lebih nyaman beternak dengan sistem bebas di alam. Akhirnya, karena pemerintah mengharuskan adanya sistem kandang, program peternakan mengalami banyak kendala dan bahkan berujung pada kegagalan. Mau tidak mau itulah kenyataan yang terjadi.

Di ranah social Human Development Index (HDI) masyarakat Sumbawa jauh dibawah rata-rata dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata adalah lulusan SD dan SLTP. Adalah ironis memang disatu kemajuan yang ditunjukkan dengan program pembangunan yang demikian gencar namun tidak dibarengi dengan upaya pencerdasan dan pencerahan masyarakat. Maka tidaklah heran masyarakat mengalami frustasi dan kehilangan orientasi untuk dapat menghadapi tantangan masa depan. Masyarakat kini cenderung menyukai yang instant tanpa harus bekerja dengan keras dan maksimal. Fenomena meningkatnya buruh migrant mengaduh nasib ke luar negeri adalah gejala dari sulitnya himpitan ekonomi masyarakat.

Quo Vadis Masa Depan Masyarakat Sumbawa

Fakta-fakta social di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa ketika program pembangunan yang bercirikan modernisasi tanpa memperhatikan akar sosio-kultural masyarakat Sumbawa pada ujungnya akan melahirkan permasalahan baru.

Oleh karena itu dibutuhkan peran vital dari semua pihak baik itu pemerintah, ormas, NGO, maupun Partai Poltik. Perlu ada upaya sistemik bersama dalam melakukan gerakan penyadaran dan pencerdasan masyarakat. Pemerintah tidak boleh berpangku tangan atas permasalahan ini sebagaimana komitmen ketika kampanye dulu. Pemerintah daerah harus dapat memenuhi ekspektasi masyarakat akan hidup yang adil dan sejahtera.

Tidak perlu program yang muluk-muluk tetapi kurang dirasakan oleh masyarakat. Cukup dengan memberikan pendidikan gratis 12 tahun dan pelayanan kesehatan gratis berkualitas. Bukanlah hal yang sulit bila political will dari pemerintah itu kuat. Kita butuh pemimpin yang bermental “Castro” -- pemimpin Kuba -- yang berani melakukan apa saja untuk rakyatnya, bukan pemimpin yang bermental “tempe” berkacamata kuda—meminjam istilahnya Mochtar Lubis—yang hanya tunduk pada sistem kapitalisme.

Demikian juga dengan NGO, Ormas, atau Partai Politik jangan memanfaatkan rakyat sebagai common issue yang bersifat profit oriented bagi pribadi dan kelompoknya. Akan tetapi, cobalah berbuat yang terbaik bagi masyarakat Sumbawa melalui program-program yang menyentuh akar sosio-kultural masyarakat.

Masa depan sumbawa tergantung dari kebijaksanaan yang kita lakukan pada saat ini. Sebab gagal dalam merencanakan sama halnya merencanakan kegagalan. Mimpi hari kemarin adalah kenyataan pada hari ini. Dan mimpi hari ini adalah kenyataan pada esok hari.

Penulis : Bambang Wahyudi, S.Pd

Sumber : Harian Gaung NTB Awal Maret Tahun 2008

Tidak ada komentar: