Jumat, 26 September 2008

Kezaliman Penguasa Sumber Kehancuran

Namun, kita sadar jalan dakwah memang tidak pernah mulus, selalu ada onak dan duri,” ujarnya.

Jakarta, Kompas - Kezaliman penguasa merupakan salah satu sumber kehancuran bangsa. Selain itu, kekufuran yang dilakukan warga bangsa juga merupakan sumber kehancuran yang membuat sebuah bangsa hilang dari peradaban dunia.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Dewan Dakwah Indonesia Syuhada Bahri dalam silaturrahim Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan tokoh dan ormas Islam nasional di Jakarta, Selasa (16/9). ”Ketika sumber kehancuran ini muncul secara bersamaan, tidak ada yang bisa menghentikan kehancuran sebuah peradaban bangsa,” ujarnya.

Itu sebabnya, menurut Syuhada Bahri, dalam Islam perlu ada dakwah politik untuk menghadapi kezaliman penguasa. Untuk menghadapi kekufuran perlu dilakukan dakwah tarbiyah.

”Namun, dakwah ini perlu dilandasi keikhlasan untuk mengejar ridha Allah, bukan karena tarikan dari luar yang bersifat keduniaan,” ujarnya.

Syuhada Bahri juga mengingatkan, gerakan dakwah itu harus lahir dari keimanan yang sangat kuat. Apalagi bagi pelaku dakwah politik karena menghadapi godaan sangat besar.

”Sekali saja goyah, akibatnya bisa fatal bagi gerakan dakwah itu sendiri,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua Dewan Syariah Pusat DPP PKS Surrachman Hidayat mengatakan, sebagai partai dakwah, PKS membutuhkan banyak masukan dari masyarakat dan ormas Islam.

”Namun, kita sadar jalan dakwah memang tidak pernah mulus, selalu ada onak dan duri,” ujarnya.

”Umaro” dan ulama

Kepala Balai Pustaka Zaim Uchrowi mengatakan, kemenangan Islam tergantung dari seberapa kuat mampu memenangi pentas peradaban dunia.

”Seperti Nabi Muhammad SAW yang mampu membalik dan menciptakan sebuah peradaban baru,” ujarnya.

Menurut Zaim, yang perlu diusahakan oleh gerakan dakwah adalah profesional yang secara awam diterjemahkan sebagai kompetensi, integritas, dan kemampuan manajemen.

”Orang baik saja tidak cukup untuk memenangi peradaban dunia, namun tetap dibutuhkan kesalehan sosial,” ujarnya.

Kader muda Islam, Adhian Husaini, mengatakan, bangkitnya generasi baru merupakan puncak kaderisasi yang dilakukan ulama.

”Kita, kan, sering mendengar rusaknya umaro (pemerintah) karena rusaknya ulama, dan rusaknya ulama karena tidak total dalam mengemban ilmunya,” ujarnya.

Selasa, 09 September 2008

Potret Masyarakat Sumbawa: Antara Kemarin, Hari Ini, dan Esok (Sebuah Tanggapan atas Opini Mahfud, S.Pd)


Memandang Bijak tentang Etos Budaya

Opini Mahfud yang dimuat dalam harian Gaung NTB secara bersambung dari tanggal 27-28 Februari 2008 lalu menarik untuk saya tanggapi. Dalam tulisannya Mahfud rupanya mencoba untuk memberikan hipotesa tentang watak khas masyarakat Sumbawa yang dalam kesimpulannya bahwa masyarakat Sumbawa adalah masyarakat yang memiliki semangat kerja rendah dan gengsi tinggi. Mahfud mengambil hipotesa ini dari beberapa fakta sosial yang terjadi di antaranya mengenai petani sumbawa yang pasrah pada nasib, perilaku remaja yang hedonis, dan TKW yang setelah kembali ke tanah air justru memiliki pola hidup baru yang konsumerisme-materialistis.

Membedah masalah persoalan etos budaya atau mentalitas orang Sumbawa tidak boleh kita analisa hanya dengan menggunakan pisau analisis C. Kluckhon. Pemahaman ini disebabkan konteks dan situasi lokal masyarakat Sumbawa berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, pendekatan pemahaman tentang masyarakat Sumbawa mestinya bersifat holistik.

Suatu etos budaya atau mentalitas tidak dapat disimpulkan dengan hanya bertolak dari pandangan hidup itu baik, hidup itu buruk, ataupun hakekat karya untuk hidup dan hakekat karya untuk kedudukan/kehormatan. Jika hanya bertolak dari pandangan dan hakekat hidup, takutnya akan terjadi distorsi makna dari setiap gejala dan fakta sosial. Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan, tidak lain agar setiap orang yang membaca opini dari Mahfud tidak salah dalam menafsirkan, sehingga akan muncul kesan tentang masyarakat Sumbawa yang keliru atau tidak pas dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Bagaimanapun juga fakta sosial seperti sikap hidup petani yang berserah pada nasib, remaja yang hedonis, dan mantan TKW yang konsumerisme-materialis ternyata tidak hanya ada pada masyarakat Sumbawa, melainkan juga terdapat di semua daerah di Indonesia. Perlu juga dipahami bahwa secara kuantitatif angota struktur masyarakat yang diungkapkan oleh Mahfud tidaklah dapat merepresentasikan secara keseluruhan masyarakat Sumbawa. Harus ada pendekatan ilmiah untuk dapat menggeneralisir etos budaya atau mentalitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, dengan itikad baik, penulis mencoba untuk mendudukkan persoalan pada proporsi yang sebenarnya melalui tulisan ini.

Apakah yang Sebenarnya Terjadi dengan Masyarakat Sumbawa

Berbicara tentang watak khas masyarakat sumbawa sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahfud bukannya tidak benar sama sekali. Hal-hal yang dikemukakannya banyak yang benar dan tidak terbantahkan—sebagaimana adagium yang kita kenal “kangila rara kagampang bola”—katanya orang sumbawa malu dikatakan sebagai orang yang miskin, meski hidup susah yang penting gaya. Walaupun demikian, tidak serta merta kemudian hal tersebut dapat kita jadikan sebagai generalisir tentang watak khas masyarakat Sumbawa. Ibarat dokter yang mendiagnosa pasien tidak hanya dilihat dari simtom-simtom yang tampak dari luar namun juga harus diperiksa lebih dalam bahkan melalui proses uji laboratorium.

Beberapa waktu yang lalu penulis berdiskusi dengan teman-teman dari kampus STKIP Hamzanwadi. Dalam perbincangan itu muncul pertanyaan “Benarkah masyarakat Sumbawa memiliki semangat kerja yang rendah dan gengsi?”. Dari perbicangan diskusi itu penulis menarik simpulan bahwa masyarakat Sumbawa baik generasi tua, remaja, wanita, kepala rumah tangga, dan sebagainya ternyata tidaklah seperti apa yang diungkapkan oleh Mahfud tersebut. Sebagian besar struktur masyarakat Sumbawa itu adalah petani yang rajin, ulet, tabah menghadapi tantangan, menghargai nilai-nilai susila, dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Sepertinya Mahfud lupa bahwa memberikan contoh tentang petani Sumbawa yang memiliki pandangan hidup berserah kepada nasib kuranglah tepat, sebab pandangan hidup yang demikian hanya sebagian kecil dari komunitas petani yang tersebar luas di Sumbawa. Petani lain belum tentu menerima pandangan hidup yang demikian atau mempunyai pandangan hidup yang berbeda. Di daerah seperti kecamatan Moyo Utara, sebagai salah satu contoh, petani di sini bisa memanfaatkan lahan sepanjang musim tanpa harus menganggur dan memang hidup itu dipandang sebagai sebuah tantangan dan perjuangan agar dapat memperoleh kebahagiaan rohani dan jasmani. Di tempat ini tiap tahun banyak petani yang sukses panennya dan bahkan mampu naik Haji dengan hasil panen.

Adapun contoh tentang para remaja atau pemuda juga tidak pas, sebagaimana yang kita ketahui geliat aktivitas dalam keagamaan dan organisasi baik itu ormas, NGO, dan partai politik tidak dapat kita bantah kan. Justru para remaja atau pemuda inilah yang kemudian menjadi pionier dan motor penggerak organisasi.

Demikian juga dengan TKW yang pulang dari Luar Negeri, banyak di antara mereka yang sukses membangun usaha. Bahkan menjadi ‘juragan’ dalam bidang usaha seperti barang lipat, usaha ikan, ataupun pertanian. Hal ini didasarkan atas beberapa penelitian yang dilakukan oleh siswa SMAN 3 Sumbawa pada Bulan Desember 2007 lalu tentang “mobilitas sosial”. Dimana TKW yang sebelumnya sulit dalam berusaha, tetapi sukses ketika pulang dari luar negeri karena memiliki modal yang besar. Secara status pun mereka kini tidak dapat dipandang sebelah mata.

Pertanyaan berikutnya adalah apa yang sebenarnya terjadi dengan masyarakat sumbawa? Di sinilah sebenarnya konteks fakta sosial yang diungkapkan oleh Mahfud, mereka – petani, remaja, dan TKW – tidak lebih merupakan korban dari ketidaksiapan dalam menghadapi proses modernisasi. Mereka tidak mampu menghadapi tantangan-tantangan kehidupan dan perubahan zaman. Pada saat yang sama mereka ini dihadapkan pada dua nilai dan norma sekaligus yaitu tradisional dan modern. Dalam kebimbangannya menghadapi dua nilai dan norma ini mereka akan mengalami beberapa gejala di antaranya anomie, cultural shock, dan cultural lag.

Pertama, anomie merupakan Suatu kondisi ketika masyarakat kehilangan nilai dan pegangan hidup. Pada saat ini masyarakat bingung, apakah harus mempertahankan nilai-nilai tradisional ataukah mesti ikut dalam arus modernisasi. Kelompok masyarakat yang paling kebingungan adalah kelompok remaja yang secara sosial belum memiliki identitas yang mantap. Sehingga tidaklah mengherankan bila perilaku kelompok remaja semakin mengarah pada budaya hedonis-pragmatis seperti pergaulan bebas, kenakalan remaja, dan minum-minuman keras.

Kedua, cultural shock yaitu suatu keadaan ketika masyarakat tidak siap menghadapi proses masuknya unsur-unsur kebudayaan baru yang kemudian berakibat pada hilangnya orientasi dan munculnya frustasi. Banyak kita temukan para petani yang terlibat dengan rentenir karena sulitnya menghadapi beratnya tantangan hidup dan kemudian berujung pada praktek-praktek penyimpangan sosial seperti kriminalitas. Atau juga para TKW kita yang berangkat ke luar negeri dengan keinginan agar mendapatkan penghasilan yang banyak dalam waktu yang singkat, sehingga pada saat pulang tidak hanya membawa uang tetapi juga membawa pola hidup yang ditiru dari negeri asal bekerja.

Ketiga, cultural lag merupakan kenyataan dimana unsur-unsur globalisasi tidak terjadi secara serempak. Di satu daerah masyarakat siap menerima perubahan tetapi di daerah lain belum siap, akhirnya yang terjadi adalah ketimpangan budaya. Sebagai contoh, kegagalan mekanisme pertanian rakyat di beberapa desa di Sumbawa karena banyak petani yang tidak siap menerima unsur-unsur tekhnologi modern yang rumit pemeliharaan dan mahal harganya.

Ketidaksiapan masyarakat Sumbawa dalam menghadapi gencarnya modernisasi dan sulitnya tantangan kehidupan ini juga berakar dari sosio cultural masyarakat Sumbawa yang termanjakan oleh alam. Banyak program-program pemerintah akhirnya gagal karena tidak sesuai dengan akar sosio cultural masyarakat. Kebijakan-kebijakan pembangunan seringkali berrsifat top down hanya mementingkan aspek kuantitas bukan kualitas. Misalkan saja, program peternakan sapi yang mensyaratkan adanya kandang. Bagi masyarakat Sumbawa yang sudah terbiasa dengan alam, proses beternak dengan sistem kandang adalah hal yang berada di luar kebiasaan masyarakat. Masyarakat Sumbawa lebih nyaman beternak dengan sistem bebas di alam. Akhirnya, karena pemerintah mengharuskan adanya sistem kandang, program peternakan mengalami banyak kendala dan bahkan berujung pada kegagalan. Mau tidak mau itulah kenyataan yang terjadi.

Di ranah social Human Development Index (HDI) masyarakat Sumbawa jauh dibawah rata-rata dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata adalah lulusan SD dan SLTP. Adalah ironis memang disatu kemajuan yang ditunjukkan dengan program pembangunan yang demikian gencar namun tidak dibarengi dengan upaya pencerdasan dan pencerahan masyarakat. Maka tidaklah heran masyarakat mengalami frustasi dan kehilangan orientasi untuk dapat menghadapi tantangan masa depan. Masyarakat kini cenderung menyukai yang instant tanpa harus bekerja dengan keras dan maksimal. Fenomena meningkatnya buruh migrant mengaduh nasib ke luar negeri adalah gejala dari sulitnya himpitan ekonomi masyarakat.

Quo Vadis Masa Depan Masyarakat Sumbawa

Fakta-fakta social di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa ketika program pembangunan yang bercirikan modernisasi tanpa memperhatikan akar sosio-kultural masyarakat Sumbawa pada ujungnya akan melahirkan permasalahan baru.

Oleh karena itu dibutuhkan peran vital dari semua pihak baik itu pemerintah, ormas, NGO, maupun Partai Poltik. Perlu ada upaya sistemik bersama dalam melakukan gerakan penyadaran dan pencerdasan masyarakat. Pemerintah tidak boleh berpangku tangan atas permasalahan ini sebagaimana komitmen ketika kampanye dulu. Pemerintah daerah harus dapat memenuhi ekspektasi masyarakat akan hidup yang adil dan sejahtera.

Tidak perlu program yang muluk-muluk tetapi kurang dirasakan oleh masyarakat. Cukup dengan memberikan pendidikan gratis 12 tahun dan pelayanan kesehatan gratis berkualitas. Bukanlah hal yang sulit bila political will dari pemerintah itu kuat. Kita butuh pemimpin yang bermental “Castro” -- pemimpin Kuba -- yang berani melakukan apa saja untuk rakyatnya, bukan pemimpin yang bermental “tempe” berkacamata kuda—meminjam istilahnya Mochtar Lubis—yang hanya tunduk pada sistem kapitalisme.

Demikian juga dengan NGO, Ormas, atau Partai Politik jangan memanfaatkan rakyat sebagai common issue yang bersifat profit oriented bagi pribadi dan kelompoknya. Akan tetapi, cobalah berbuat yang terbaik bagi masyarakat Sumbawa melalui program-program yang menyentuh akar sosio-kultural masyarakat.

Masa depan sumbawa tergantung dari kebijaksanaan yang kita lakukan pada saat ini. Sebab gagal dalam merencanakan sama halnya merencanakan kegagalan. Mimpi hari kemarin adalah kenyataan pada hari ini. Dan mimpi hari ini adalah kenyataan pada esok hari.

Penulis : Bambang Wahyudi, S.Pd

Sumber : Harian Gaung NTB Awal Maret Tahun 2008

Senin, 08 September 2008

ERA BONGKAR SUDAH SELESAI?


Gerakan Mahasiswa Dulu dan Sekarang

SETIAP era melahirkan pahlawannya sendiri. Delapan tahun silam mahasiswa menjadi pahlawan dalam menegakkan reformasi. Kini zaman telah berubah. Peran seperti apa yang bisa dilakoni mahasiswa?

"Era bongkar sudah selesai," demikian ujar Iwan Fals delapan tahun silam, tak lama rezim Orde Baru tumbang. Orde reformasi telah lahir menerbitkan secercah harapan untuk membangun Indonesia yang adil dan sejahtera.

Namun tampaknya ungkapan pencipta tembang "Bongkar" itu tak sepenuhnya benar. Orba memang telah tumbang tetapi kemudian lahir penguasa-penguasa yang lebih tiran dan korup.

"Era bongkar belum selesai, dan memang tidak akan pernah selesai," ungkap Ketua KAMMI Komisariat Unnes Bambang Wahyudi.

Menurutnya kelakuan penguasa sekarang tak beda dari dulu. "Mengabaikan kepentingan umat dan lebih memikirkan nafsunya sendiri," ujarnya.

Mantan Presiden BEM Undip Eko Susanto juga menyatakan perjuangan mahasiswa belum berakhir. Oknum pejabat justru semakin rakus menumpuk harta dengan cara korupsi sementara rakyat semakin kelaparan. "Namun zaman telah berubah, metode yang digunakan mahasiswa juga harus diubah," ujarnya.

Sedangkan Ketua Senat Mahasiswa IKIP PGRI Semarang menyatakan mahasiswa perlu membekali diri dengan metodologi gerakan dan teknik advokasi agar perjuangannya efektif. Mereka bersepakat perjuangan mahasiswa belum selesai tetapi metodenya harus diubah agar lebih selaras dengan perubahan zaman.

Gerakan Intelektual

Menurut pengamatan Eko Susanto, metode gerakan mahasiswa masih konvensional. Jika ada masalah langsung turun ke jalan. Padahal aksi demo sudah tidak efektif. "Rakyat sudah bosan," ujarnya.

Menurutnya mahasiswa adalah kaum intelektual sehingga metode gerakannya mesti intelek juga. Ia mengambil misal aksi mahasiswa untuk membantu korban gempa bumi di Yogyakarta.

Mahasiswa kedokteran bisa berperan untuk menangani korban, sedangkan mahasiswa ekonomi turut membantu pemulihan di bidang ekonomi. "Lain lagi mahasiswa teknik mereka bisa berperan dalam rekonstruksi rumah yang hancur," urainya.

Tentu saja tidak salah jika mahasiswa aktif menggalang bantuan. Namun jangan sekadar "minta-minta" di pinggir jalan kemudian selesai.

Eko menandaskan mahasiswa harus terus disadarkan mereka memiliki peran kebangsaan. Mahasiswa tidak hidup dalam "ruang kosong", tetapi di tengah masyarakat sehingga tak boleh masa bodoh terhadap situasi kebangsaan.

Ketua KAMMI Komisariat Unnes Bambang Wahyudi menyatakan arah perjuangan mereka tak berubah, yakni sebagai wadah perjuangan kebangsaan bagi mahasiswa. "Namun aktualisasinya kita sesuaikan dengan situasi politik kontemporer," ujarnya.

Siklus perjuangan KAMMI di-perbaharui setiap empat tahun. Semenjak era reformasi tahun 1998-an, sekarang menginjak periode siklus yang ketiga. "Kaderisasi terus kita lakukan untuk mempersiapkan kader pemimpin yang amanah di masa depan."

Ada dua fokus perjuangan KAMMI. Pertama mencerdaskan masyarakat. "Sebab kualitas pemimpin suatu bangsa merupakan cermin dari kualitas masyarakatnya," ungkap Bambang Wahyudi.

Masyarakat yang bobrok akan melahirkan pemimpin yang bobrok pula. Sebaliknya, jika masyarakatnya cerdas tentu tak akan mudah diperdaya sehingga bisa memilih pemimpin yang benar-benar amanah. "Inilah fokus perjuangan kami memberikan tarbiyah kepada masyarakat," ujar mahasiswa Sosiologi dan Antropologi Unnes angkatan 2002 itu.

KAMMI yang lahir dari rahim reformasi itu juga tengah menggodok calon pemimpin masa depan. Merujuk siklus perjuangan KAMMI, diharapkan tahun 2020 KAMMI sudah menelurkan calon pemimpin bangsa yang kapabel. "Kader-kader kami masih dipersiapkan untuk mengembang tugas menjadi pemimpin bangsa pada 2020," ujarnya.

Metodologi Lemah

Ketua Senat Mahasiswa IKIP PGRI Umi Kultsum mengungkapkan semangat mahasiswa masih tinggi namun lemah dalam metodologi dan visi. ''Sehingga perjuanganya belum efektif," ungkapnya.

Pertengahan Juni lalu Senat Mahasiswa IKIP PGRI menyelenggarakan pelatihan legislasi dan advokasi bagi para aktivis mahasiswa. Tujuannya untuk membekali mahasiswa di bidang legislasi dan advokasi. "Melalui pelatihan ini kami membekali metodologi gerakan agar perjuangan mahasiswa tidak hanya sekadar gagah-gagahan tetapi juga ada ilmunya," ujarnya.

Salah satu pembicara Ketua TIM Advokasi LKBH PGRI Jateng Sapto Budoyo SH mengatakan, yang dilawan mahasiswa adalah politikus busuk yang memiliki jam terbang tinggi. Tanpa bekal memadai, mahasiswa hanya akan menjadi bulan-bulanan mereka. "Kami berharap bekal di bidang legislasi dan advokasi akan membuat perjuangan mahasiswa lebih efektif," ujarnya. (Panji Satrio-14)

Sumber : Suara Merdeka, Kamis 06 Juli 2006


OLIMPIADE 2008 DAN LINGKUNGAN

Jika pada malam hari anda kebetulan sedang di Wuda, sebuah kota di daerah otonomi Inner Mongolai, China, maka anda akan merasakan bahwa bumi yang anda pijak panas seolah sedang terbakar. Lalu tengoklah retakan tanahnya, maka akan tampak jelas pijaran api menyala-nyala. Penduduk setempat mengibaratkan kobaran api dalam bumi tersebut laksana naga yang hidup dan terus menyantap semua tanah dan bebatuan hingga habis. Yang tampak saat itu sebenarnya adalah lapisan batubara dan bebatuan bumi yang sedang menyala dan berpijar dengan sendirinya (self ignition).

Kobaran tersebut terbentang dengan radius ribuan kilometer persegi, sehingga menjadikan daerah ini menjadi salah satu lokasi terbesar kebakaran tambang batubara yang ada di dunia. Para peneliti gabungan Jerman - China menghitung bahwa dari kebakaran di daerah Wuda ini mengeluarkan lebih dari 80 ribu ton gas beracun, meliputi belerang dioksida dan karbon monoksida, selain tentunya gas rumah kaca (GRK), yang mulai terbakar sejak tahun 1950-an.

Fenomena betapa ”berasapnya” China bukan hanya terjadi di Wuda. Hampir semua daerah tambang batubara China yang dikategorikan terbesar di dunia mengalami nasib serupa dan membuat masalah lingkungan. Tidak heran International Energy Agency mengkategorikan bencana alam di tambang batubara ini sebagai worldwide catastrophe, bencana yang mendunia. Asap yang memenuhi China tersebut belum ditambah lagi dari kendaraan serta pembangkit energi berbahan bakar batubara yang mengeluarkan asap-asap tebal dan industri-industri berat lainnya.

Kualitas udara jauh dari menyenangkan, terutama saat musim panas dengan kuantitas debu yang cukup mengganggu mata dan pernafasan. Tak heran bila sebelum dimulainya Olimpiade, Bank Dunia mengkategorikan 16 dari 20 kota besar di China sebagai kota berkualitas udara buruk. Bahkan beberapa bulan sebelum Olimpiade, Beijing secara jujur masih mengakui bahwa Air Pollution Index (API - index polusi udara) Beijing secara keseluruhan adalah 97 dan 87 untuk stadion-stadion Olimpiade. Padahal standar WHO menyebutkan bahwa API lebih dari 50 dikategorikan tidak aman untuk kesehatan.

Dampak berikutnya bisa ditebak: muncul gelombang protes yang dibumbui sentimen anti China. Timbul kekhawatiran banyak negara akibat ancaman kesehatan para atlit yang akan dikirim ke Beijing. Dimulai dari protes tim Amerika yang akan memboikot pengiriman atlet, seperti alasan Tyson Gray, sprinter 100 m USA yang menolak berlomba di China dengan alasan ”tidak mungkin berlomba dengan garis finish yang tidak bisa dilihat mata”. Lalu Haile Gebrselassie, juara dunia marathon dari Ethopia yang khawatir pingsan di tengah jalan karena khawatir selama lomba lebih banyak karbondioksida dibanding oksigen yang masuk ke paru-paru.

Ikut dalam rombongan pemrotes adalah para petinju: mereka memprediksi dengan kualitas udara sekarang mereka tidak bisa bertanding tiga ronde. Para atlit lomba dayung pun satu persatu memboikot bila Beijing tidak segera mengumumkan kualitas sungai dan danau tempat berlomba bebas dari ganggang dan lumut yang berbahaya buat kesehatan.

Revolusi Lingkungan

Dan sekarang inilah titik balik itu: Olimpiade Beijing 2008. Pesta olahraga empat tahunan ini seperti menyapu langit dan sungai-sungai Beijing menjadi bersih. Beijing seolah ingin berjuang menghapus keraguan dunia akan komitmen lebih dari 1,2 miliar rakyat China tentang lingkungan. Maka segera setelah memenangkan persaingan tuan rumah olimpiade pada tahun 2001, China secara massive mempersiapkan proyek-proyek prestisius untuk membangun Beijing sebagai green city. Dari sisi budaya dan kultur, setiap penduduk dengan tekun ditingkatkan kepedulian tentang peningkatan kualitas lingkungan. Ditambah lagi bahwa Olimpiade yang dimulai tanggal 8 bulan 8 tahun 08 - deretan tanggal keberuntungan menurut tradisi China - akan membawa keberuntungan buat mereka.

Beijing kemudian membuat strategi untuk meningkatkan kualitas udara, dengan memesan teknologi baru pengolahan batubara untuk pembangkit energi industri-industri di Beijing. Selebihnya pemerintah tidak kompromi dengan industri pencemar, meski era sebelumnya industri tersebut adalah tulang punggung ekonomi penduduk lokal. Setahun sebelum olimpiade lebih dari 200 perusahaan yang mencemari lingkungan ditutup atau dipindahkan keluar Beijing.

Di bawah koordinasi Beijing Sustainable Development Plan, China mengumumkan 20 projek untuk meningkatkan kualitas udara Beijing dengan investasi total sejumlah 12,2 milyar dollar. Beijing membangun pabrik baru pengolahan limbah cair, serentak dengan membangun fasilitas pengolahan limbah padat. Beijing juga merampungkan proyek penyediaan ozone depleting substances (yang digunakan menangkap zat-zat penipis lapisan ozone pada pendingin ruangan dan alat elektronik lain), serta menggunakan aplikasi sistem heat - pump (penghemat energi) untuk menghemat energi di dalam stadion olimpiade.

Di air, penduduk bersama dengan tentara berhari-hari membersihkan sungai-sungai di Beijing dan Qingdao yang sebelumnya terlihat seperti hamparan karpet hijau terbuat dari ganggang dan lumut. Para ahli lingkungan memperkirakan bahwa sekitar 200 juta kubik liter air harus dipompa dari dalam tanah untuk membuat sirkulasi sungai hingga bersih. Para petani yang membutuhkan air untuk pertanian pun tidak bisa lain kecuali terpaksa harus rela membayar ongkos ini semua demi citra lingkungan China.

Untuk menurunkan polusi dari transportasi pemerintah membatasi hanya separuh jumlah mobil pribadi yang boleh berjalan di Beijing dengan menerapkan peraturan bahwa mobil berplat ganjil hanya boleh dijalankan saat tanggal ganjil, dan demikian sebaliknya. Dengan hal ini Beijing hanya dipenuhi oleh separuh dari 3,3 juta mobil di Beiijing yang biasa mengangkut 17 juta penduduk. Pemerintah juga mengganti 47 ribu taksi lama dengan taksi baru dan 7 ribu bus berbahan diesel dengan bus berbahan bakar gas sekaligus memulai era baru standar kendaraan berstandar uni eropa. Solusi untuk kemacetan Beijing yang akan mengangkut tambahan 5 juta turis lokal dan asing yang menikmati olimpiade diatasi dengan membangun kereta dalam kota bawah tanah dengan investasi 22,3 Milyar Yuan (setara dengan 28 Triliun rupiah). Solusi cerdas padat teknologi yang mengurangi kemacetan sekaligus mengurangi emisi kendaraan bermotor. Maka layak bila United Nations Environmental Program (UNEP) membuat laporan yang menunjukkan bahwa olimpiade 2008 sebagai olimpiade yang paling ramah lingkungan sepanjang sejarah penyelenggaraan event ini.

Pelajaran dan harapan

Konflik antara aktivitas pembangunan dengan ancaman terhadap alam selalu menghasilkan konfrontasi. Potret China sebelum Olimpiade 2008 abai dari apa yang telah lama menjadi thesis Bower, 1977, tentang environmentally sound development, pembangunan berwawasan lingkungan. Yakni pertama: pencapaian target pembangunan harus tidak mengancam kualitas alam dan kualitas hidup rakyat. Sejak lama China abai dari prinsip ini. Beijing selalu menggenjot ekonomi sejalan dengan minat besar perusahaan-perusaha an raksasa international. Perusahaan-perusaha an besar China adalah perusahaan yang lapar energi, dan menelan 80% batubara China. Sebagai akibat, gas rumah kaca (GRK) tidak terbendung dan China dikenal sebagai penghasil emisi GRK terbesar di dunia.

Selanjutnya, yang kedua, adalah pemecahan masalah tingkat agregasi: lingkungan mana yang harus dihadapi dan pembangunan fisik apa yang layak dikerjakan di atas lingkungan tersebut. Idealnya adalah pembangunan yang dikerjakan harus tidak mengganggu apalagi menghapuskan sistem alam pada tingkat tertentu. Pertanyaan ketiga adalah tentang adequasi: apakah pembangunan sejalan dengan kapasitas lingkungan yang bisa ditingkatkan meskipun hanya dengan teknologi yang sederhana? Dan terakhir adalah masalah keseimbangan, yakni apakah dengan pembangunan banyak spesies yang hilang atau justru bertambah karena adanya proyek pembangunan tertentu.

Terlepas dari banyaknya tekanan yang ditujukan ke China hingga kini, maka sebenarnya dengan Olimpiade 2008 perlahan tapi pasti China mulai sadar akan keempat hal diatas. Seperti halnya Tokyo pada tahun 1964 atau Seoul 1988, Olimpiade 2008 sejatinya event yang ingin mempertontonkan kematangan tuan rumah dalam membangun bangsa, dan khusus untuk China tahun ini adalah dalam hal revolusi lingkungan yang mereka kerjakan. Olimpiade 2008 memang selama 16 hari, tapi pekerjaan dramatis dibalik itu semua patut dijadikan pelajaran negara manapun, termasuk Indonesia.


(Dimuat di Republika 9 Agustus 2008)

*Suhendra, Dr. ; tinggal di Jerman.