Senin, 08 September 2008

OLIMPIADE 2008 DAN LINGKUNGAN

Jika pada malam hari anda kebetulan sedang di Wuda, sebuah kota di daerah otonomi Inner Mongolai, China, maka anda akan merasakan bahwa bumi yang anda pijak panas seolah sedang terbakar. Lalu tengoklah retakan tanahnya, maka akan tampak jelas pijaran api menyala-nyala. Penduduk setempat mengibaratkan kobaran api dalam bumi tersebut laksana naga yang hidup dan terus menyantap semua tanah dan bebatuan hingga habis. Yang tampak saat itu sebenarnya adalah lapisan batubara dan bebatuan bumi yang sedang menyala dan berpijar dengan sendirinya (self ignition).

Kobaran tersebut terbentang dengan radius ribuan kilometer persegi, sehingga menjadikan daerah ini menjadi salah satu lokasi terbesar kebakaran tambang batubara yang ada di dunia. Para peneliti gabungan Jerman - China menghitung bahwa dari kebakaran di daerah Wuda ini mengeluarkan lebih dari 80 ribu ton gas beracun, meliputi belerang dioksida dan karbon monoksida, selain tentunya gas rumah kaca (GRK), yang mulai terbakar sejak tahun 1950-an.

Fenomena betapa ”berasapnya” China bukan hanya terjadi di Wuda. Hampir semua daerah tambang batubara China yang dikategorikan terbesar di dunia mengalami nasib serupa dan membuat masalah lingkungan. Tidak heran International Energy Agency mengkategorikan bencana alam di tambang batubara ini sebagai worldwide catastrophe, bencana yang mendunia. Asap yang memenuhi China tersebut belum ditambah lagi dari kendaraan serta pembangkit energi berbahan bakar batubara yang mengeluarkan asap-asap tebal dan industri-industri berat lainnya.

Kualitas udara jauh dari menyenangkan, terutama saat musim panas dengan kuantitas debu yang cukup mengganggu mata dan pernafasan. Tak heran bila sebelum dimulainya Olimpiade, Bank Dunia mengkategorikan 16 dari 20 kota besar di China sebagai kota berkualitas udara buruk. Bahkan beberapa bulan sebelum Olimpiade, Beijing secara jujur masih mengakui bahwa Air Pollution Index (API - index polusi udara) Beijing secara keseluruhan adalah 97 dan 87 untuk stadion-stadion Olimpiade. Padahal standar WHO menyebutkan bahwa API lebih dari 50 dikategorikan tidak aman untuk kesehatan.

Dampak berikutnya bisa ditebak: muncul gelombang protes yang dibumbui sentimen anti China. Timbul kekhawatiran banyak negara akibat ancaman kesehatan para atlit yang akan dikirim ke Beijing. Dimulai dari protes tim Amerika yang akan memboikot pengiriman atlet, seperti alasan Tyson Gray, sprinter 100 m USA yang menolak berlomba di China dengan alasan ”tidak mungkin berlomba dengan garis finish yang tidak bisa dilihat mata”. Lalu Haile Gebrselassie, juara dunia marathon dari Ethopia yang khawatir pingsan di tengah jalan karena khawatir selama lomba lebih banyak karbondioksida dibanding oksigen yang masuk ke paru-paru.

Ikut dalam rombongan pemrotes adalah para petinju: mereka memprediksi dengan kualitas udara sekarang mereka tidak bisa bertanding tiga ronde. Para atlit lomba dayung pun satu persatu memboikot bila Beijing tidak segera mengumumkan kualitas sungai dan danau tempat berlomba bebas dari ganggang dan lumut yang berbahaya buat kesehatan.

Revolusi Lingkungan

Dan sekarang inilah titik balik itu: Olimpiade Beijing 2008. Pesta olahraga empat tahunan ini seperti menyapu langit dan sungai-sungai Beijing menjadi bersih. Beijing seolah ingin berjuang menghapus keraguan dunia akan komitmen lebih dari 1,2 miliar rakyat China tentang lingkungan. Maka segera setelah memenangkan persaingan tuan rumah olimpiade pada tahun 2001, China secara massive mempersiapkan proyek-proyek prestisius untuk membangun Beijing sebagai green city. Dari sisi budaya dan kultur, setiap penduduk dengan tekun ditingkatkan kepedulian tentang peningkatan kualitas lingkungan. Ditambah lagi bahwa Olimpiade yang dimulai tanggal 8 bulan 8 tahun 08 - deretan tanggal keberuntungan menurut tradisi China - akan membawa keberuntungan buat mereka.

Beijing kemudian membuat strategi untuk meningkatkan kualitas udara, dengan memesan teknologi baru pengolahan batubara untuk pembangkit energi industri-industri di Beijing. Selebihnya pemerintah tidak kompromi dengan industri pencemar, meski era sebelumnya industri tersebut adalah tulang punggung ekonomi penduduk lokal. Setahun sebelum olimpiade lebih dari 200 perusahaan yang mencemari lingkungan ditutup atau dipindahkan keluar Beijing.

Di bawah koordinasi Beijing Sustainable Development Plan, China mengumumkan 20 projek untuk meningkatkan kualitas udara Beijing dengan investasi total sejumlah 12,2 milyar dollar. Beijing membangun pabrik baru pengolahan limbah cair, serentak dengan membangun fasilitas pengolahan limbah padat. Beijing juga merampungkan proyek penyediaan ozone depleting substances (yang digunakan menangkap zat-zat penipis lapisan ozone pada pendingin ruangan dan alat elektronik lain), serta menggunakan aplikasi sistem heat - pump (penghemat energi) untuk menghemat energi di dalam stadion olimpiade.

Di air, penduduk bersama dengan tentara berhari-hari membersihkan sungai-sungai di Beijing dan Qingdao yang sebelumnya terlihat seperti hamparan karpet hijau terbuat dari ganggang dan lumut. Para ahli lingkungan memperkirakan bahwa sekitar 200 juta kubik liter air harus dipompa dari dalam tanah untuk membuat sirkulasi sungai hingga bersih. Para petani yang membutuhkan air untuk pertanian pun tidak bisa lain kecuali terpaksa harus rela membayar ongkos ini semua demi citra lingkungan China.

Untuk menurunkan polusi dari transportasi pemerintah membatasi hanya separuh jumlah mobil pribadi yang boleh berjalan di Beijing dengan menerapkan peraturan bahwa mobil berplat ganjil hanya boleh dijalankan saat tanggal ganjil, dan demikian sebaliknya. Dengan hal ini Beijing hanya dipenuhi oleh separuh dari 3,3 juta mobil di Beiijing yang biasa mengangkut 17 juta penduduk. Pemerintah juga mengganti 47 ribu taksi lama dengan taksi baru dan 7 ribu bus berbahan diesel dengan bus berbahan bakar gas sekaligus memulai era baru standar kendaraan berstandar uni eropa. Solusi untuk kemacetan Beijing yang akan mengangkut tambahan 5 juta turis lokal dan asing yang menikmati olimpiade diatasi dengan membangun kereta dalam kota bawah tanah dengan investasi 22,3 Milyar Yuan (setara dengan 28 Triliun rupiah). Solusi cerdas padat teknologi yang mengurangi kemacetan sekaligus mengurangi emisi kendaraan bermotor. Maka layak bila United Nations Environmental Program (UNEP) membuat laporan yang menunjukkan bahwa olimpiade 2008 sebagai olimpiade yang paling ramah lingkungan sepanjang sejarah penyelenggaraan event ini.

Pelajaran dan harapan

Konflik antara aktivitas pembangunan dengan ancaman terhadap alam selalu menghasilkan konfrontasi. Potret China sebelum Olimpiade 2008 abai dari apa yang telah lama menjadi thesis Bower, 1977, tentang environmentally sound development, pembangunan berwawasan lingkungan. Yakni pertama: pencapaian target pembangunan harus tidak mengancam kualitas alam dan kualitas hidup rakyat. Sejak lama China abai dari prinsip ini. Beijing selalu menggenjot ekonomi sejalan dengan minat besar perusahaan-perusaha an raksasa international. Perusahaan-perusaha an besar China adalah perusahaan yang lapar energi, dan menelan 80% batubara China. Sebagai akibat, gas rumah kaca (GRK) tidak terbendung dan China dikenal sebagai penghasil emisi GRK terbesar di dunia.

Selanjutnya, yang kedua, adalah pemecahan masalah tingkat agregasi: lingkungan mana yang harus dihadapi dan pembangunan fisik apa yang layak dikerjakan di atas lingkungan tersebut. Idealnya adalah pembangunan yang dikerjakan harus tidak mengganggu apalagi menghapuskan sistem alam pada tingkat tertentu. Pertanyaan ketiga adalah tentang adequasi: apakah pembangunan sejalan dengan kapasitas lingkungan yang bisa ditingkatkan meskipun hanya dengan teknologi yang sederhana? Dan terakhir adalah masalah keseimbangan, yakni apakah dengan pembangunan banyak spesies yang hilang atau justru bertambah karena adanya proyek pembangunan tertentu.

Terlepas dari banyaknya tekanan yang ditujukan ke China hingga kini, maka sebenarnya dengan Olimpiade 2008 perlahan tapi pasti China mulai sadar akan keempat hal diatas. Seperti halnya Tokyo pada tahun 1964 atau Seoul 1988, Olimpiade 2008 sejatinya event yang ingin mempertontonkan kematangan tuan rumah dalam membangun bangsa, dan khusus untuk China tahun ini adalah dalam hal revolusi lingkungan yang mereka kerjakan. Olimpiade 2008 memang selama 16 hari, tapi pekerjaan dramatis dibalik itu semua patut dijadikan pelajaran negara manapun, termasuk Indonesia.


(Dimuat di Republika 9 Agustus 2008)

*Suhendra, Dr. ; tinggal di Jerman.

Tidak ada komentar: